← Back to portfolio
Published on

[Wawancara] ICRC: Islam hanya bolehkan perang untuk pertahanan diri

SURABAYA - Anadolu Agency

Penasihat Hukum untuk Hukum Islam dan Yurisprudensi Komite Palang Merah Internasional (ICRC) Ahmed Al-Dawoody mengatakan pemahaman terhadap hukum perang Islam merupakan poin penting dalam penegakan hukum humaniter internasional (HHI).

Dalam wawancara dengan Anadolu Agency, Al-Dawoody menjelaskan bahwa hukum Islam selaras atau tidak bertentangan dengan hukum humaniter internasional.

Sebagai lembaga yang mendorong pemahaman masyarakat internasional tentang hukum humaniter, ICRC memandang poin ini penting karena sebagian besar konflik bersenjata terjadi di negara-negara Muslim.

Al-Dawoody menuturkan masih ada pelanggaran terhadap hukum humaniter dalam konflik bersenjata yang mengorbankan warga sipil dan non-kombatan.

Penulis buku “Hukum Perang Islam” (Palgrave Macmillan, 2011) ini menyimpulkan bahwa Islam hanya membolehkan perang dalam konteks mempertahankan diri (defensive war).

Dia menegaskan tidak ada justifikasi yang membolehkan perang ofensif, misalnya untuk motif ekonomi dan ekspansi.

Hukum Islam juga mengatur perlindungan terhadap warga sipil dan non-kombatan agar pihak yang berkonflik mengedepankan aspek kemanusiaan.

Berikut wawancara Anadolu Agency dengan akademisi kelahiran Mesir ini pada Rabu, 4 September 2019 di Surabaya, Jawa Timur.

Anadolu Agency (AA): Bagaimana hukum Islam berkaitan dengan hukum humaniter internasional dalam situasi konflik yang ada saat ini?

Al-Dawoody: Ahli-ahli hukum Islam telah mengembangkan kerangka hukum yang mengatur jus ad bellum dan jus in bello. Jus ad bellum adalah hak untuk berperang, yang menerangkan dalam konteks apa perang dapat dibenarkan.

Poin yang lebih penting ada pada jus in bello yang mengatur penggunaan pasukan bersenjata dalam konflik atau perang. [Konsep jus in bello ini] kita menyebutnya sekarang sebagai hukum humaniter internasional.

Tradisi hukum Islam telah menyentuh poin-poin dari hukum humaniter internasional yang berlaku saat ini, termasuk untuk melindungi warga sipil, non-kombatan, melindungi properti, serta batasan penggunaan senjata, taktik, bagaimana menghargai martabat tahanan perang, hingga memperlakukan jenazah.

Jadi, kerangka klasik hukum Islam relevan dengan situasi sekarang. [Hukum Islam] bisa menjadi sumber kepatuhan dan penghormatan terhadap norma-norma kemanusiaan, serta membantu agar prinsip-prinsip hukum humaniter Internasional dipatuhi karena sebetulnya kedua kerangka hukum ini selaras.

Hukum Islam dapat berkontribusi agar hukum humaniter internasional dihargai demi mengedepankan kemanusiaan dalam konflik.

AA: Dalam kondisi seperti apa perang diziinkan menurut hukum perang Islam?

Al-Dawoody: Mayoritas ahli hukum Islam setuju bahwa Islam membenarkan penggunaan kekuatan dalam konteks pertahanan sipil. Jadi yang diizinkan adalah jihad dalam arti mempertahan diri ketika ada invasi atau agresi dari musuh.

Hanya saja jika dikaitkan dengan masa-masa awal Islam, ada yang membingungkan bagi sebagian umat Islam sekarang. Beberapa siswa saya meneliti prinsip intervensi kemanusiaan yang kompleks dari perspektif hukum internasional, misalnya apakah boleh berperang karena alasan kemanusiaan, untuk menyelamatkan minoritas yang dipersekusi seperti yang terjadi pada beberapa kasus.

Kita masih menemukan perbedaan pemahaman terkait pendapat ahli hukum dalam konteksnya di masa lalu. Sekarang kita memiliki Persatuan Bangsa-bangsa (PBB), kita punya Konvensi Jenewa, kita punya hukum publik internasional, dimana perang ofensif dilarang.

Artinya tidak ada justifikasi untuk perang ofensif, tetapi dalam perspektif hukum Islam maupun hukum internasional, setiap negara berhak [menggunakan kekuatan militer] untuk mempertahankan diri.

AA: Jadi perang diperbolehkan dengan alasan pertahanan sipil, tetapi bagaimana dengan beberapa konflik yang terjadi saat ini dimana ada justifikasi lain selain itu?

Al-Dawoody: Hukum Islam hanya mengizinkan perang defensif seperti melawan invasi, melawan penganiayaan dan melawan penyiksaan terhadap minoritas tertentu demi kebebasan beragama.

Tetapi jika ada pembenaran lain untuk konflik misalnya untuk tujuan ekonomi, ekspansi, mengeksploitasi orang lain atau sumber daya bangsa lain, tentu saja ini tidak dibenarkan dalam sistem hukum mana pun.

Dalam situasi saat ini, perlu dikaji kasus demi kasus, tetapi saya tidak dapat merujuk pada kasus-kasus tertentu. Saya hanya bisa memberikan kerangka yang kami terapkan secara objektif dalam situasi apa pun.

AA: Mayoritas konflik bersenjata justru terjadi di negara-negara Muslim, sejauh apa hukum Islam efektif terkait fakta ini?

Al-Dawoody: Seluruh negara Muslim telah mengadopsi hukum humaniter internasional, termasuk Konvensi Jenewa sebagai kerangka hukum dalam penggunaan kekuatan bersenjata.

Ini menunjukkan bahwa hukum humaniter sepenuhnya kompatibel dengan hukum Islam. Ada pengecualian terkait pandangan beberapa ahli hukum, tetapi ini tergantung konteks yang disertakan, dan bukan berarti ini tidak dapat diubah.

Sekarang kita menerima Konvensi Jenewa dan ini telah menjadi panduan terkait prinsip-prinsip [dalam konflik bersenjata]. Dalam beberapa kasus, ada kelompok yang menjadikan hukum Islam sebagai preferensi, bukan hukum humaniter.

Pemahaman mereka berbeda dan pada beberapa kasus justru melanggar hukum Islam. Saya tidak akan menyebut kelompok atau pihak tertentu.

Namun dalam beberapa kasus tahanan perang tidak dihargai sebagai manusia, jenazah tidak diperlakukan sebagaimana mestinya, dan ini tidak hanya terjadi pada tahanan non-muslim, melainkan juga pada muslim.

AA: Ada pihak-pihak yang menafsirkan konsep perang secara berbeda. Bagaimana memastikan perspektif Hukum Islam dapat dihormati dan diimplementasikan oleh perbedaan perspektif itu?

Al-Dawoody: Ini adalah salah satu tantangan yang kita hadapi karena ketika kita berbicara tentang Hukum Islam, sistem ini muncul 14 abad lalu dengan konteks yang berbeda.

Ada ruang terhadap interpretasi dan penafsiran yang berbeda, bahkan bertentangan satu sama lain terkait apa yang boleh dan apa yang dilarang. Dalam beberapa kasus, aturan yang ada bisa dipilih untuk menjustifikasi posisi tertentu.

Solusinya adalah kita perlu lebih banyak meneliti dan melibatkan para ahli dan spesialis dari berbagai disiplin ilmu, berkolaborasi dengan Dewan Hukum Islam seperti yang ada di beberapa negara.

Ini semacam ijtihad kolektif, dimana para ahli dan pemuka agama menyatakan posisi Islam terkait isu yang dibahas. Kadang kita membutuhkan lebih dari keahlian untuk mempelajari kasus dari sudut pandang berbeda dan menghasilkan pendapat yang mencerminkan nilai dari hukum Islam.

AA: Di Indonesia kami menghadapi isu terorisme, misalnya kelompok yang berafiliasi dengan Daesh melancarkan aksi teror berdasarkan justifikasi mereka terkait “jihad”. Bagaimana ICRC memandang isu ini?

Al-Dawoody: Ada interpretasi yang berbeda dan ini terjadi di berbagai budaya. Ada beberapa kelompok atau individu yang memiliki interpretasi berbeda seperti apa yang kita sebut “radikal” atau “ekstremis” atau apa pun.

Tetapi saat bertindak, itu adalah ranah otoritas untuk mengimplementasikannya ke dalam Undang-undang. Undang-undang harus membahas isu yang terkait dengan penghancuran hukum dalam konteks [perbedaan interpretasi] itu.

Kita perlu mendorong perdebatan yang sehat, damai dan terhormat di antara spesialis dan ahli karena interpretasi yang berbeda ini. Kita harus objektif, pragmatis dan praktis. Tidak ada masyarakat, agama, budaya lain, yang tidak memiliki interpretasi “radikal” atau interpretasi berbeda. Ada juga perspektif terkait isu keamanan, intelektual dan akademik.

AA: Bagaimana dengan warga sipil yang nyatanya tetap terdampak konflik?

Al-Dawoody: Dalam Hukum Islam ada instruksi yang jelas bahwa warga sipil tidak dapat ditargetkan seperti wanita, anak-anak, dan kategori lainnya. Ini berarti setiap warga sipil tidak boleh dirugikan secara sengaja. Ada instruksi dan hadist yang jelas mengenai hal ini.

Jika ada yang melanggarnya, itu karena mereka tidak paham hukum atau tidak menghormatinya. Kita memiliki hukum, tapi bukan berarti semua pihak mematuhi hukum. Inilah tantangan seperti yang saya katakan di awal. Kita harus terus mengampanyekannya agar semua pihak menyadari dan menghargai prinsip-prinsip ini.

AA: Apa yang ICRC lakukan untuk mendorong pemahaman lebih luas terkait hukum Islam dan hukum humaniter?

Al-Dawoody: ICRC melakukan ini dalam konteks hukum humaniter internasional dan melibatkan semua aktor yang relevan seperti negara, militer, polisi, kalangan akademik, pemimpin agama, kelompok bersenjata non-negara, dan lain-lain.

Dalam beberapa kasus, sangat berguna untuk membuat perbandingan antara hukum humaniter internasional dan Hukum Islam. Kami melihat bahwa ada persentase kompatibilitas yang sangat besar antara sistem hukum.

Jadi akan sangat membantu ketika masyarakat Muslim bisa melihat bahwa hukum humaniter internasional tidak bertentangan dengan hukum Islam.