← Back to portfolio
Published on

Gelisah warga Rimbo Panjang Riau, hidup tak bersekat dengan titik api

PEKANBARU - Anadolu Agency

Hari-hari belakangan ini amat menggelisahkan bagi Syafril Leo, 43, setelah lahan di sekitar rumahnya di Desa Rimbo Panjang, Kampar, Riau terbakar.

Api melahap lahan gambut serta sebagian kebun nanas milik warga yang berjarak hanya sekitar 100 meter dari rumah Syafril.

Hingga siang itu, api masih belum padam sepenuhnya meski tidak lagi sebesar malam sebelumnya. Kebakaran menyisakan pepohonan, semak, dan tanah yang hangus.

Petugas dan warga sekitar telah berupaya memadamkan api, namun sebagian besar api melahap lahan gambut dengan kedalaman lebih dari dua meter.

Sementara itu belum ada tanda-tanda hujan akan turun sehingga pemadaman dilakukan secara manual dengan alat seadanya.

Di tengah situasi ini, Syafril mengkhawatirkan api bisa merambat ketika angin cukup kencang.

“Malam terpaksa harus ronda, karena kalau sampai api kena rumah habis lah sudah,” tutur Syafril kepada Anadolu Agency, Senin lalu.

Syafril tidak tahu bagaimana mulanya lahan tersebut terbakar. Api pertama kali muncul di lahan ini pada Minggu siang lalu.

Ketika itu petugas pemadam di Rimbo Panjang tengah memadamkan api di titik lain.

Menurut dia, kebakaran hutan dan lahan menjadi momok bagi warga Rimbo Panjang karena beberapa titik api di wilayah ini berjarak sangat dekat dengan pemukiman.

Tidak jauh dari desa Syafril, kebakaran lahan bahkan sempat terjadi tepat di belakang rumah warga.

Langit biru dan udara bersih kini tinggal ilusi. Kabut asap menyelimuti pemukiman mereka.

Pantauan Anadolu Agency di lokasi pada Senin lalu, kabut asap di Rimbo Panjang lebih pekat dibandingkan di Kota Pekanbaru. Lokasi titik api yang begitu dekat membuat mata perih dan dada sesak.

Syafril dan istrinya pun mulai mengeluh sakit kepala, mata perih dan sesak dada akibat kabut asap itu.

Tiga orang anak mereka, di mana dua di antaranya masih berusia 3 tahun dan 8 tahun, juga terpapar kabut asap tanpa perlindungan minimal seperti masker.

Mereka tetap bermain sepeda di luar rumah, memanfaatkan waktu luang akibat sekolah diliburkan sejak pekan lalu.

Syafril mengatakan melarang anaknya untuk berlindung dari kabut asap di dalam rumah pun percuma karena asap telah masuk ke dalam rumah sederhana mereka.

Keluarga ini juga tidak memiliki penyaring udara sehingga mau tidak mau tetap menghirup asap meski di dalam rumah.

“Di dalam juga sama saja, kami cuma punya kipas angin,” tutur Syafril.

Susah payah padamkan api

Memadamkan api yang membakar lahan gambut bukan perkara mudah. Sejumlah petugas pemadam dari Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan warga menyiramkan lahan gosong menggunakan selang air.

Mereka mengambil air dari sebuah sumur bor yang dibuat sendiri khusus untuk menangani karhutla agar tidak perlu menanti suplai air dari area lain.

Api masih tampak di beberapa titik merambat lewat semak-semak. Terkadang api berkobar ketika membakar pohon-pohon.

Menurut salah satu petugas, Serda Budiman Simbolon mengatakan meski api tampak tidak besar pada permukaan, lapisan bahwa dari lahan gambut itu bisa saja masih terbakar.

Sementara itu, mereka hanya memiliki sejumlah selang untuk menyiramkan air. Air itu diambil dari sumur bor yang mereka buat sendiri agar tidak perlu bergantung pada suplai air dari tempat lain.

Seluruh tenaga harus dikerahkan agar api tak sampai ke rumah warga. Sementara itu, mereka juga harus siaga jika ada laporan kebakaran di titik lain.

Menurut dia, ada tiga titik kebakaran di wilayah Rimbo Panjang dalam beberapa hari belakangan.

“Apalagi kalau angin kencang api jadi cepat merambat dan membakar lahan gambut yang sudah mengering,” kata Budiman.

Sudah dua bulan mereka berjibaku dengan karhutla di Rimbo Panjang, di mana sebagian besar titik api berada di lahan gambut.

Data dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) juga menunjukkan hal serupa. Dari 49 ribu hektare lahan yang terbakar di Riau, 40 ribu hektare di antaranya merupakan lahan gambut.

Candra, 35, salah satu warga Rimbo Panjang yang turut memadamkan api juga ikut menghabiskan hari-harinya di tengah hutan dan ladang.

Begitu api terpantau membakar lahan, Candra biasanya langsung menghubungi petugas agar segera dipadamkan bersama-sama.

“Setiap hari hirup asap langsung di tempat kebakaran, sudah enggak kepikiran lagi dengan kesehatan sendiri,” kata Candra kepada Anadolu.

Tidak ada kompensasi atau jaminan apa pun untuk Candra. Namun mau tidak mau dia harus membantu lantaran kebakaran itu terjadi di desa tempat dia tinggal.

Pasi Ops Kodim 0313/Kampar Kapten Infanteri Yuhardi mengatakan setelah proses pemadaman rampung, area yang terbakar ini akan diselidiki oleh kepolisian setempat. Sebab ada dugaan lahan ini sengaja dibakar.

Menurut dia, kebakaran hutan terjadi dari tahun ke tahun di Rimbo Panjang, dan lahan-lahan bekas kebakaran itu kini telah beralih menjadi kebun sawit hingga kompleks perumahan.

Sayangnya, kata Yuhardi, pembuktian terhadap pihak-pihak yang paling bertanggung jawab atas ini sering kali tak terselesaikan.

“Setelah terbakar begini sering kali tidak jelas siapa yang bertanggung jawab atas lahan tersebut,” kata dia.