← Back to portfolio
Published on

Bencana kabut asap hantui penduduk Indonesia hingga Malaysia

KUALA LUMPUR - Anadolu Agency

Kabut asap telah menyelimuti sebagian wilayah Malaysia beberapa minggu belakangan. Langit di Negeri Jiran berubah kelabu dan polusi udara memburuk.

Kabut asap berasal dari kebakaran hutan yang terjadi di enam provinsi di Sumatra dan Kalimantan, Indonesia.

Di Malaysia, sejumlah wilayah yang terdampak antara lain Negara Bagian Sarawak, Kuala Lumpur, Johor Bahru, Selangor, serta Putrajaya. Sedangkan di Singapura kabut asap terancam mengganggu perhelatan ajang

Indeks polusi udara di Sri Aman, Sarawak bahkan mencapai level berbahaya pada Jumat, sedangkan di Kuala Lumpur dan Putrajaya berkisar pada level tidak sehat hingga sangat tidak sehat.

Seorang pekerja di Kuala Lumpur, Fanny Nur Andini mengaku mulai lelah menghadapi kualitas udara yang buruk dan langit kelabu.

Fanny biasanya suka membuka jendela rumah, namun kini dia menutup rapat seluruh ruang sirkulasi udara agar kabut asap tidak masuk ke dalam rumah.

Dia juga mengurangi aktivitas di luar ruangan dan membeli air purifier untuk mengurangi dampak kabut asap. Fanny hanya keluar ruangan untuk pulang-pergi dari kantor.

“Rasanya rindu dengan langit biru dan udara segar,” ujar Fanny kepada Anadolu Agency.

Memburuknya kualitas udara di Kuala Lumpur kemudian berdampak pada kesehatan Fanny. Pekan lalu dia sampai menderita demam, sakit tenggorokan dan batuk-batuk.

“Ketika periksa ke klinik, dokter bilang itu gejala yang muncul akibat terpapar kabut asap,” ucap Fanny.

Menurut dia, dokter yang memeriksanya juga menangani sejumlah pasien infeksi saluran pernapasan beberapa waktu belakangan akibat kabut asap ini.

Kabut asap juga memengaruhi aspek ekonomi bagi sebagian orang di Malaysia. Seorang sopir sekaligus pemandu wisata, Muhammad Nazrul Nizam mengatakan jumlah turis pengguna jasanya berkurang dalam satu minggu terakhir.

“Ini juga memengaruhi pendapatan saya sebagai pemandu taksi, kalau kabut asap seperti ini turis akan terus berkurang,” tutur Nizam kepada Anadolu Agency.

Bagi dia, kabut asap yang menyelimuti Malaysia sudah seperti “tradisi yang dikirimkan Indonesia” dari tahun ke tahun.

Nizam mendesak pemerintah Malaysia dan Indonesia segera menemukan cara menuntaskan persoalan ini. Sebab, semakin lama ini berlangsung maka semakin lama pula mata pencaharian Nizam terganggu.

“Satu minggu belakangan nampak betul kurangnya (wisatawan) dibandingkan dua minggu lalu,” kata dia.

“Kalau memang Indonesia butuh bantuan, kenapa tidak terima saja dari Malaysia supaya bisa cepat teratasi,” lanjut Nizam.

Ratusan ribu orang di Indonesia derita ISPA

Di Riau, Indonesia - wilayah di mana sebagian kabut asap berasal - penduduk setempat juga berjuang menghadapi bencana kabut asap dan dikepung kebakaran hutan.

Titik api berada di Kabupaten Kampar, Pelalawan, Indragiri Hilir serta Indragilir Mudik.

Pantauan Anadolu Agency di Pekanbaru, Riau pada awal pekan lalu, kabut asap membuat mata pedih dan tenggorokan terasa sakit.

Warga setempat harus menggunakan masker untuk melindungi diri. Selain itu sekolah-sekolah diliburkan selama hampir dua minggu.

Sebagian orang harus mengungsi karena rumah mereka terlalu dekat dengan titik api. Sebanyak 268.591 orang menderita infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) di Riau.

Secara keseluruhan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat ada 884.966 orang terpapar infeksi pernapasan akibat kabut asap di enam provinsi yakni Riau, Jambi, Sumatera Selatan, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah dan Kalimantan Selatan.

Pemerintah Indonesia telah menyatakan status siaga darurat akibat kabut asap. Posko-posko kesehatan telah dibuka untuk masyarakat yang berobat gratis.

Kebakaran hutan dan lahan berulang terjadi sejak 1997 dan menjadi momok yang terus datang setiap tahun bagi masyarakat di provinsi tersebut.

Seorang ibu dengan dua anak di Pekanbaru, Yuli Astuti, 28, harus mengungsi dari rumahnya ke sebuah posko di Rumah Sakit Jiwa Tampan.

Bayinya yang berusia 8 bulan bernama Raka Yusri Anugrah, menderita demam, batuk-batuk hingga muntah akibat kabut asap.

“Sudah tiga hari dia menangis terus, enggak bisa tidur sampai akhirnya saya bawa ke IGD dan kata dokter ada gejala infeksi pernapasan,” kata Yuli.

Rumah Yuli hanya berjarak sekitar 500 meter dengan lahan yang terbakar di perbatasan Kota Pekanbaru dengan Kabupaten Kampar. Kabut asap amat pekat di area pemukimannya, bahkan sampai masuk ke dalam rumah hingga kamar tidurnya.

“Kami enggak punya air purifier, jadi di luar dan di dalam rumah sama saja asapnya. Suami saya bahkan pernah tidur pakai masker,” kata dia.

Untuk sementara Yuli dan keluarga akan tinggal di posko yang disediakan oleh pemerintah setempat. Mereka mendapat fasilitas tempat tidur, makanan, serta obat-obatan gratis.

Mereka baru akan kembali ke rumah jika kabut asap telah mereda.

“Entah sampai kapan, enggak mungkin saya kembali ke rumah kalau asap masih pekat. Kasihan anak-anak saya,” ujar Yuli.

Di sisi lain, petugas bekerja pagi hingga malam memadamkan api lewat water bombing, pemadaman di darat, hingga upaya menurunkan hujan buatan yang sering kali gagal karena tidak ada cukup awan.

Hingga tulisan ini diturunkan, kebakaran hutan dan lahan masih terjadi. Sebanyak 328.724 hektare lahan telah terbakar.

BNPB mencatat terdapat 5.086 titik panas hingga Jumat pukul 09.00 WIB. Akibatnya kualitas udara di Kalimantan Tengah dan Sumatra Selatan mencapai level berbahaya, sedangkan di Riau masuk kategori sangat tidak sehat.

Hutan sengaja dibakar

Presiden Joko Widodo dalam kunjungannya ke Pelalawan, Riau mengatakan bahwa kebakaran hutan terjadi secara terorganisir.

Dia menginstruksikan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) untuk menindak tegas pelaku pembakar hutan dalam kunjungannya ke Riau pada Senin lalu.

Polisi telah menetapkan 249 orang dan juga enam perusahaan sebagai tersangka karena lalai atau secara sengaja membakar hutan dan lahan.

Menurut Kapolri Jenderal Tito Karnavian, hutan dan lahan sengaja dibakar oleh pihak tertentu untuk land clearing.

Sebab membakar lahan masih dianggap sebagai cara yang murah dan mudah untuk membuka lahan perkebunan sawit maupun tanaman industri lainnya. Musim kemarau selalu menjadi momentum untuk melakukan aksi ini.

Selain itu Tito tidak melihat ada lahan sawit dan tanaman industri ikut terbakar.

“Kalaupun ada, hanya di pinggir,” ujar dia.

Situasi menjadi lebih pelik karena Indonesia kini menghadapi siklus El Nino sehingga nyaris tidak ada curah hujan yang dapat meredakan kebakaran hutan.

Apalagi sebagian besar kebakaran hutan terjadi di lahan gambut dengan kedalaman bermeter-meter sehingga sulit dipadamkan.

Badan Metereologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) memprediksi musim kemarau baru berakhir pada Oktober. Titik api diprediksi masih mungkin ada hingga saat itu.

Syafril Leo, seorang warga Desa Rimbo Panjang, Kabupaten Kampar, Riau juga tak asing isu pembukaan lahan tersebut.

Menurut dia, banyak lahan bekas kebakaran di sekitar Desa Rimbo Panjang yang kemudian beralih menjadi perkebunan kelapa sawit serta komplek perumahan.

Lahan di belakang rumah Syafril bahkan menjadi salah satu yang terbakar pada awal pekan lalu.

“Nggak mungkin lahan ini bisa terbakar sendiri, pasti ada yang sengaja membakar,” tutur Syafril.

Tawaran bantuan dari Malaysia, Indonesia bergeming

Malaysia sebagai negara yang terdampak kabut asap telah menawarkan bantuan kepada Pemerintah Indonesia untuk mengatasi persoalan ini. Namun belum ada respons dari Indonesia atas tawaran tersebut.

Menteri Lingkungan Hidup RI Siti Nurbaya mengatakan sepanjang Indonesia masih memiliki resources dan berupaya maksimal menangani bencana kabut asap, maka bantuan itu tidak diperlukan.

“Kecuali jika negara itu sudah tidak ada resources yang digunakan,” kata Siti melalui keterangan tertulis, Sabtu.

Dia mengatakan Indonesia telah berupaya menangani bencana kabut asap secara sistematis lewat upaya water bombing, menurunkan puluhan ribu personel pemadaman, menyemai awan agar hujan buatan turun, serta menegakkan hukum kepada para pembakar lahan.

Selain itu menurut Siti, kabut asap yang terpantau melintasi batas Indonesia sejak 13 September lalu telah menipis.

Sebelumnya Indonesia-Malaysia sempat saling tuding terkait kabut asap lintas batas ini. Siti enggan mengakui bahwa kabut asap Indonesia telah melintas ke Malaysia pada 2-8 September.

Menurut dia, Malaysia juga memiliki sejumlah titik panas sehingga kabut asap tidak hanya berasal dari Indonesia.

Indonesia kemudian menyatakan bahwa ada titik kebakaran hutan yang terjadi di wilayah konsesi milik perusahaan Malaysia.

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Indonesia telah menyegel empat perusahaan Malaysia dan satu perusahaan Singapura dengan tuduhan menyebabkan kebakaran hutan dan lahan.

Salah satunya menyegel lahan seluas 4,25 hektare milik PT Adei Platation and Industry yang terbakar pada awal September lalu di Kabupaten Pelalawan, Riau. PT Adei merupakan anak usaha dari Kuala Lumpur Kepong Berhad (KLK).

Pemerintah Malaysia kemudian menegaskan tidak akan melindungi perusahaan yang memang terkait dengan kebakaran hutan sepanjang tuduhan itu terbukti.

"Klaim ini telah dibuat oleh Indonesia, jadi pemerintah Indonesia harus menyelidiki dan membuktikannya,” kata Menteri Industri Malaysia Teresa Kok dikutip dari Bernama.

Pegiat Greenpeace Malaysia, Heng Kiah Chun menilai perlu transparansi data terkait peta perkebunan perusahaan di industri sawit untuk mengetahui siapa yang paling bertanggung jawab atas pembakaran lahan.

Menurut Heng, transparansi data akan membantu perusahaan membuktikan jika mereka bersih dari perusakan hutan. Selain itu, juga membuat perusahaan yang melakukan deforestasi terpantau.

Heng mengatakan kebakaran hutan seharusnya bisa dicegah jika pemerintah bisa mengawasi seluruh pemanfaatan lahan dan mencegah deforestasi.

Sebab kebakaran hutan berkaitan erat dengan pembukaan lahan bagi perkebunan skala besar terutama minyak kelapa sawit atau kayu pulp. Perlindungan terhadap hutan dan lahan gambut, kata dia, krusial untuk menuntaskan akar masalah dari kabut asap.

“Kebakaran hutan ini dibuat oleh manusia, jadi seharusnya bisa dicegah,” ujar Heng.

Sebagai langkah penindakan, Heng menuturkan negara-negara ASEAN memerlukan aturan yang kuat terkait kabut asap lintas batas agar bisa bertindak secara nyata.

“Setiap negara juga perlu memberlakukan hukum domestik tentang masalah ini,” kata Heng.

Perjanjian ASEAN tak bergigi

Belakangan pemerintah Malaysia mengirimkan surat ke Sekretariat ASEAN terkait perumusan dan penegakan hukum kabut asap lintas batas dalam jangka panjang.

Pasalnya, Malaysia tidak memiliki kekuatan hukum untuk menindak kabut asap lintas batas sehingga membutuhkan dukungan ASEAN.

Ini bukan kali pertama kabut asap menjadi persoalan regional ASEAN. Pada 2015 lalu, karhutla menimbulkan bencana kabut asap yang juga memengaruhi hubungan Indonesia dengan Malaysia, dan Singapura.

ASEAN sebetulnya memiliki perjanjian terkait kabut asap lintas batas. Indonesia sebagai negara dengan hutan terluas di ASEAN telah meratifikasinya pada September 2014.

Perjanjian itu menyatakan seluruh pihak harus mengambil langkah-langkah untuk mencegah dan mengatasi kabut asap lintas batas.

Namun menurut pengamat hukum internasional dari Universitas Padjadjaran Gusman Siswandi, perjanjian itu tidak cukup bergigi untuk menuntaskan persoalan kabut asap di ASEAN.

Ini berkaitan dengan karakter ASEAN sebagai organisasi yang consensus based. Selain itu, perjanjian ASEAN terkait kabut asap lintas batas juga tidak dilengkapi mekanisme penegakan hukum yang tegas.

Bencana asap yang masih terjadi, kata Gusman, menunjukkan bahwa ada hal-hal yang perlu dibenahi dalam penanganannya. Sayangnya, perjanjian kabut asap lintas batas belum menyentuh poin itu.

“Implementasinya masih bergantung pada koordinasi antar-negara dan seberapa kuat hukum nasional mereka,” kata Gusman.

Dari tiga negara yang paling terdampak karhutla, hanya Singapura yang memiliki mekanisme penegakan hukum nasional untuk bisa menjangkau perusahaan mereka yang terlibat kebakaran hutan sesuai yuridiksi hukum di Singapura.

Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad telah melempar wacana membentuk undang-undang serupa untuk memaksa perusahaan Malaysia mengatasi kebakaran hutan pada lahan konsesi mereka di luar negeri.

Lewat langkah itu setidaknya bisa menjadi kontribusi bagi Malaysia dan Singapura agar perusahaan asal negara mereka tidak menjadi bagian dari sumber masalah.

Di sisi lain, Gusman mengatakan Indonesia perlu memastikan praktik land clearing di hutan-hutan Kalimantan dan Sumatra tidak lagi terjadi agar bencana asap berhenti menghantui masyarakat Indonesia sendiri dan di negara tetangga.

“Situasi di lapangan memang lebih rumit, ada juga kaitan dengan faktor ekonomi dan sosial masyarakat sekitar. Mereka juga perlu diedukasi tentang dampak dari praktik slash and burn ini,” kata dia.